Link Chart : Di Mana Analisis Overlap Lebih Menarik Dari Sekedar Peta !

Diagram Link Spasial, Case Studi : Analisis Tumpang Tindih Batas

Salah satu kelebihan mengapa banyak pihak menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) atau lebih tepatnya lagi adalah data spasial digital, adalah karena dengan SIG lebih mudah dalam melakukan analisis peta. Sebagai contoh adalah analisis tumpang susun peta atau sering disebut overlay analysis, yang mana metode analisis ini adalah yang paling banyak digunakan pastinya.

Di tahun pertengahan 90 an ketika saya kuliah di kampus kuning di Depok, di sana diajarkan yang namanya Kartografi atau teknik menggambar peta. Belum ada SIG waktu itu, semuanya serba manual, di mana semua peta dibuat di atas kertas kalkir dengan berbagai macam peralatan dan tekniknya. 1 lembar peta bisa dikerjakan selama berhari-hari atau berminggu-minggu (kalau mood lagi males). Hal itu juga dikarenakan perlu kehati-hatian dan kecermatan yang ekstra, mengingat kalau salah sedikit saja bisa mengulang dari awal menggambarbta. Bisa dibayangkan jika ditugaskan membuat 3 judul peta saja (berarti 3 lembar peta), maka akan lebih lama lagi waktu yang dibutuhkan. Padahal mungkin saja informasi yang dipetakan sudah berubah kondisinya di lapangan. Salah satu peta yang dibuat adalah peta jalan yang datanya didapat dari olahan data praktikum mata kuliah Ilmu Ukur Tanah (Handasah).

Baca Juga : Analisis Perubahan Penggunaan / Penutupan Lahan Secara Sederhana

Sehabis itu peta-peta (wilayah dengan skala yang sama) berbagai topik itu kemudian dianalisis, yang paling basic adalah metodeo analisis dengan mentumpang-susunkannya, atau menumpuk semua peta itu. Kalau tidak salah sih pernah menumpukan peta penggunaan tanah, peta lereng, dan peta curah hujan. Dari sana dosen akan menginstruksikan  untuk mencari di mana saja contoh lokasi dan jenis data yang bertampalan, misalnya sawah + lereng curam + curah hujan > 100 mm/bulan. Zaman itu ketika sudah zaman OHP, maka peta-peta dicopy ke plastik transparansi dan kemudian dioverlay, secara visual menjadi lebih mudah dianalisis. Hasil analisis kemudian dicatat atau didiskusikan dalam kuliah. Ilustrasi di atas hanyalah sekelumit pembuka bagaimana tidak efektifnya analisis peta secara manual, apalagi jika bandingannya kondisi teknologi data spasial hari ini.

Berbicara mengenai overlay peta di era SIG ini, dia banyak berjasa dalam menunjukan betapa banyaknya tumpang tindih garis batas. Sebut saja misalnya tumpang tindih antara lahan masyarakat, batas perkebunan (HGU/sawit), IUP/Izin Usaha Pertambangan, Kawasan Hutan, Peta PBPH/Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan seperti HPH/HTI (sekarang PBPH HA / HT), dan izin-izin lainnya. Ini terjadi hampir di semua provinsi di Indonesia, ini juga mencerminkan juga betapa carut marutnya tata kelola data spasial di Indonesia.

Kemudahan SIG membuat banyak pihak bisa membuat peta semaunya, namun mereka khususnya wali data terkait peta batas berjalan sendiri-sendiri alias ego sektoral. User jadi bingung batas yang benar versi yang mana. Ini menyebabkan birokrasi yang boros, jlimet, makan waktu karena user harus memerlukan waktu lebih untuk kesana-kemari memvalidasi data dan seterusnya. Dalam konteks bisnis hal itu tidak efektif.

Hal yang mana kemudian mendasari keluarnya Kebijakan Satu Peta (KSP), yang entah saat ini kelanjutannya sudah sampai mana. Saya hanya tahu dari KSP ini keluar PITTI (Peta Indikatif Tumpang Tindih Izin), dan keperluannya lebih untuk memenuhi kebutuhan investasi alias bisnis besar, bukan untuk rakyat. Padahal data itu juga diperlukan rakyat, karena banyak tanah-tanah rakyat yang tumpang tindih dengan batas-batas izin korporasi besar sektor perkebunan dan tambang. KSP harusnya mempunyai semangat untuk menjadi basis data penyelesaian, bukan hanya menunjukan tumpam tindih untuk sekelompok elite. Memang sih untuk penyelesaian tumpang tindih batas perlu keinginan yang kuat dari pemerintah dan harus melibatkan banyak pihak.




About Nana Rusyana, MSi. 9 Articles
Pembelajar geografi, spasial, dan lingkungan. GIS Specialist dalam topik; - Pengelolaan sumber daya alam - Kajian Lingkungan Hidup Startegis (KLHS) - Permodelan perubahan tutupan lahan - Perencanaan wilayah dan kota

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*