Bererapa dekade terakhir ini, utamanya tiga dekade terakhir perkembangan teknologi informasi geospasial atau sebut saja teknologi pembuatan peta sangatlah pesat. Hampir semua orang sejak saat itu sampai saat ini bisa membuat peta secara mudah, yang penting mempunyai komputer dan aplikasinya, beserta alat survey dan media lain yang diperlukan.
Di sekitar awal sampai pertengahan dekade 90 an ketika saya masih menimba ilmu di kampus kuning, membuat peta masih menjadi sesuatu yang terbatas. Selain teknis menggambarnya yang repot karena masih menggunakan alat manual seperti meja gambar, kertas kalkir, sablon, ‘rotring’, dan sejenisnya, pembuat peta pun terbatas haruslah sebuah lembaga swasta yang telah diberi izin dan atau badan pemerintah. Paling pun yang sedikit agak leluasa adalah kampus karena mempunyai privilege akademis. Jadi person pembuat peta yang profesional umumnya bekerja untuk perusahaan atau di badan pemerintah, jarang yang individual, terkecuali mahasiswa di kampus untuk keperluan penelitian atau proyek.
Tentunya bukan tanpa alasan kenapa beberapa aspek pembuatan peta perlu diatur (batasan) khususnya oleh pemerintah, bahkan sampai saat ini. Salah satunya adalah karena peta bisa mengandung informasi yang sensitif misalnya berkaitan dengan keamanan negara. Selain itu perlu juga suatu peta standar yang bisa menjadi acuan atau referensi resmi karena khususnya saat ini siapapun bisa membuat peta dan dampaknya akan banyak versi dari suatu peta wilayah. Tumpang tindih batas wilayah baik batas administratif ataupun batas fungsional pada beberapa versi peta dari pembuat peta yang berbeda adalah salah satu kasus paling banyak terjadi. Di dekade 90 an lembaga pemerintah yang membuat peta standar nasional (peta dasar / topografi) yaitu hanya dua yang diingat saya, yaitu Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal – sekarang BIG) di Cibinong dengan Peta Rupa Bumi Indonesia nya dan Direktorat Topografi Angkatan Darat (DITTOP AD) di Jakarta dengan Peta Topografinya, alhamdulillah keduanya pernah saya sambangi. Kedua lembaga ini membuat orientasi dan tupoksi yang berbeda.
Pada tahun 2011 untuk pertama kalinya lahir undang-undang terkait dengan informasi geospasial dan pemetaan yaitu UU No. 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Lahirnya undang-undang berisi 71 pasal ini pun menandai perubahan mendasar, salah satunya mengenai kelembagaan regulator pemetaan di Indonesia. UU ini pun telah mengadopsi perkembangan teknologi Infomasi Geospasial seperti SIG dan Penginderaan Jauh. Hal yang kemudian diperkuat dengan dengan lahirnya PP Nomor 9 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Informasi Geospasial.
Baca juga : Harap Tahu Nih Bro Peraturan Terkait Peta
Inti dari UU dan PP itu adalah memperjelas secara resmi kelembagaan dan jenis informasi yang dipetakan. Salah satu hal penting yang diatur dalam UU tersebut adalah lahirnya Badan Informasi Geospasial atau BIG sebagai pengganti BAKOSURTANAL sebagai badan pemerintah yang mempunyai tugas utama sebagai penyelenggara Informasi Geospasial Dasar atau IGD, (atau bisa diartikan sebagai Peta Dasar) di pasal 22. Sedangkan untuk peta tematik atau Informasi Geospasial Tematik atau IGT dapat diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah, Pemerintah daerah, dan/atau setiap orang (pasal 23).
Hal lain yang secara praktis terasa utamanya oleh para profesional dalam bidang SIG, Penginderaan Jauh, dan Surveyor Pemeetaan adalah sejak adanya UU itu mereka harus mempunyai sertifikat keahlian jika terlibat dalam kegiatan penyelenggaraan informasi geospasial. Sejak itu maka menjamurlah lembaga-lembaga penyelenggara sertifikasi bidang SIG, Penginderaan Jauh, dan Surveyor Pemeetaan. Hal itu membawa dampak perlunya seorang ahli SIG, Penginderaan Jauh, dan Surveyor Pemeetaan mengeluarkan biaya tambahan untuk sertifikasi jika ingin ikut proyek, kebanyakan sertifkat tersebut hanya berlaku 3 tahun.
Baca juga : Analisis Suhu Permukaan Menggunakan Landsat 8 : Sebuah Pengalaman Uji Kompetensi Penginderaan Jauh
IGD Bukan Lagi Monopoli BIG ?
Pada 20 Nopember 2020, walaupun banyak diprotes dan ditolak oleh beberapa pihak utamanya kalangan buruh dan aktivis lingkungan, disahkan UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UUCK) atau Omnibus Law, ada yang menyebutnya UU sapu jagat. UU ini banyak merevisi UU lain, termasuk salah satunya UU No 4 tahun 2011, yaitu dijelaskan di pasal 20 UUCK. Hal teknisnya diperkuat oleh keluarnya PP Nomor 45 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Informasi Geospasial.
Jika di UU No 4 tahun 2011 secara jelas disebutkan di pasal 22 pada ayat;
(1) IG yang berjenis IGD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a hanya diselenggarakan oleh Pemerintah.
(2) Penyelenggaraan IGD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan yang disebut Badan Informasi Geospasial sebagai pengganti Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional sesuai dengan amanat Undang-Undang ini.
Maka pada UUCK pasal 20 ketentuan 7 ditambahkan ;
Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 (UU No 4 tIGD ditetapkan oleh Pemerintah Pusatahun 2011) disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 22A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22 A
(1) Penyelenggaraan IGD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dapat dilakukan melalui kerja sama antara Pemerintah Pusat dengan badan usaha milik negara.
Hal ini juga terdapat di Perpu terbaru tepatnya di UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang
Setelah adanya UUCK tersebut maka pembuatan IGD (Jaring Kontrol Geodesi dan Peta Dasar) tidak lagi menjadi hak eksklusif BIG namun bisa juga dibuat oleh BUMN melalui skema kerjasama. Hal yang belum jelas adalah mekasime kerja samanya seperti apa, karena katanya akan diatur lagi dengan Perpres. Walaupun di UUCK tersebut juga tetap disebutkan IGD ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
Hal ini tentu akan membawa dampak baik positif dan juga negatif. Hal positifnya adalah pada wilayah-wilayah yang peta dasarnya masih blank, belum lengkap atau perbaruannya masih lambat bisa diisi oleh kerjasama dengan BUMN itu. Karena kalau hanya mengandalkan program dan anggaran BIG yang memang terbatas sepertinya akan sulit atau lama terwujud.
Di sisi lain hal negatif atau tepatnya kekhawatiran antara lain akan adanya peta dasar versi lain yang standarnya bisa saja berbeda dengan peta Rupa Bumi nya BIG. Walau ini masih bersifat dugaan, karena belum secara jelas mekanismenya seperti apa karena bisa saja kerjasama tersebut tetap melibatkan BIG sebagai ‘wakil’ pemerintah pusat. Namun jika saja terjadi adanya peta dasar versi lain yang standarnya berbeda, maka akan menambah masalah tumpang tindih batas yang walaupun saat ini sudah ada Kebijakan Satu Peta nyatanya di lapangan masih terjadi. Kekhawatiran lainnya apakah peta dasar dari BUMN tersebut akan bisa bersifat publik seperti yang ada saat ini.
Sejatinya peraturan dibuat untuk kemaslahatan dan kebaikan masyarakat, walaupun tidak akan ada peraturan yang sempurna, selalu saja ada kelemahan dan pro kontra. Mudah-mudahan saja adanya kebijakan terbaru tentang perpetaan dan data spasial ini lebih memperbaiki iklim dunia informasi geospasial Indonesia dengan segala persoalan di dalamnya.
Leave a Reply