Weighted Overlay Pada QGIS

Weighted Overlay Pada QGIS

Mengawali tahun baru 2022 ini, Lintasbumi kembali akan melanjutkan bahasan mengenai analisis overlay terbobot alias Weighted Overlay. Postingan ini sebagai kelanjutan hal serupa sebelumnya (lihat link di bawah paragraf ini), nah kali ini pembahasannya menggunakan software QGIS dengan studi kasus penentuan wilayah rawan bencana longsor.

Baca juga : Spatial Multi Criteria Evaluation AKA Overlay Terbobot

Analisis tumpangsusun peta atau lebih populer dengan nama overlay merupakan analisis spasial yang bisa dikatakan paling klasik. Menurut informasi di masa kuliah yang saya ikuti, analisis overlay ini sudah ada jauh sebelum lahirnya SIG, SIG berperan lebih mempopulerkannya saja. Sebelum booming SIG, konsep ini diajarkan oleh dosen dengan analogi peta-peta suatu wilayah (berbagai tema) yang dicetak di plastik transparansi, lalu peta-peta tersebut ditumpuk.

Ketika ditumpuk, maka otomatis berbagai informasi dari tema tersebut akan beririsan pada satu lokasi atau wilayah tertentu. Kemudian dianalisis persamaan dan perbedaannya, untuk kemudian ditentukan karakter wilayah tersebut sesuai dengan kebutuhan analisisnya untuk apa. Misalnya saja terlihat apa penggunaan lahan di jenis tanah tertentu, dan seterusnya.



Weighted Overlay

Menurut beberapa literatur, pengaruh berbagai faktor dalam membentuk karakter suatu wilayah tidaklah sama. Masalahnya menentukan secara eksak berapa besaran pengaruh faktor-faktor tersebut juga bukan perkara mudah dan debatble. Salah satu pendekatam yang sering dilakukan adalah melakukan pendekatan kuantitatif, yang diasumsikan mampu menggambarkan dan menegaskan logika umum bahwa faktor itu bisa diterima sebagai yang berpengaruh. Pendekatan tersebut misalnya dengan pembobotan menggunakan prinsip AHP, ANP, dan lainnya. Walaupun pada metode-metode itu juga masih tidak bisa dihindari unsur subyektifitas pakar. Ini merupakan salah satu dasar lahirnya overlay terbobot atau Weighted Overlay.

Prinsip dari overlay terbobot ini secara ringkasnya adalah;

  • Prinsip dasarnya tetap sama yaitu overlay kesesuaian klasik
  • Semua input dikonversi ke ukuran skala yang sama
  • Menentukan besaran bobot setiap input
  • Jumlah bobot total adalah 1



Studi Kasus : Kawasan Rawan Bencana Longsor

Menurut Kementerian ESDM1, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor adalah :

  • Curah hujan
  • Lereng terjal
  • Tanah yang kurang padat dan tebal (jenis tanah)
  • Batuan yang kurang kuat (geologi)
  • Jenis tata lahan (tutupan lahan)
  • Getaran
  • Susut muka air danau atau bendungan
  • Adanya beban tambahan
  • Pengikisan/erosi
  • Adanya material timbunan pada tebing
  • Bekas longsoran lama
  • Adanya bidang diskontinuitas (bidang tidak sinambung)
  • Penggundulan hutan
  • Daerah pembuangan sampah

Dari sekian faktor di atas, yang umum digunakan dalam berbagai publikasi / jurnal terkait pembahasan rawan gerakan tanah adalah curah hujan, lereng, jenis tanah, geologi, dan tutupan lahan. Menurut Taufik dkk. (2016)2 bobot pengaruh dari masing-masing faktor tersebut adalah 0,15, 0,3, 0,2, 0,2, dan 0,15. Pada penelitian tersebut lereng adalah faktor terbesar, serta terkecil adalah curah hujan dan tutupan lahan. Tahapan dan studi kasus dalam postingan ini adalah berdasarkan dari deskripsi tersebut.



Tahapan Weighted Overlay QGIS Dengan Plugin WMCA

#1 QGIS yang digunakan adalah versi 3.14, sedangkan untuk melakukan analisis Weighted Overlay terlebih dulu harus ditambahkan plugin Weighted Multi Criteria Analysis (WMCA), seperti tampak pada gambar di bawah ini.

#2 Tambahkan data atau layer yang akan dianalsis, dalam hal ini adalah shp curah hujan, lereng, jenis tanah, geologi, dan tutupan lahan. Dalam kasus ini karena wilayah contoh hanya 5.000 ha, curah hujan sama yaitu 2.500 mm/tahun, nilai skornya dimasukan dalam peta administrasi.

Bisa dilihat di legenda masing-masing layer, kenaikan skor mengikuti kelas layer di mana makin berpengaruh terhadap kejadian longsor atau gerakan tanah skornya makin tinggi (1 – 5). Kepekaan jenis tanah terhadap longsor mengikuti SK Mentan 837/Kpts/Um/11/1980, di mana kemudian skor untuk semua layer mengikuti penelitian Taufik dkk. (2016)2, dan khusus untuk curah hujan skornya 4.

#3 Konversi semua layer menjadi raster, pastikan nantinya bahwa row x column atau jumlah pikselnya sama, satu saja berbeda maka harus diperbaiki dulu sebelum kemudian dikonversi lagi. Ukuran piksel yang digunakan dalam contoh ini adalah 30 meter, dan value raster yang dimasukan adalah skor, pada kasus ini curah hujan ‘numpang’ pada layer LandCover. Lintasbumi sendiri melakukan convert di ArcMap, jika di QGIS maka gunakan tool Rasterize seperti nampak di gambar berikut.

#4 Hasil konversi seperti nampak di gambar berikut, yang jelas pada properties masing-masing layer, perhatikan bahwa Width dan Heightnya haruslah sama di semua layer. Karena jika tidak maka menu atau plugin Weighted Multi Criteria Analysis tidak akan bisa jalan, pada contoh ini ukurannya 282 x 454.

#5 Barulah setelah ini menjalankan menu Weighted Multi Criteria Analysis. Di situ terlihat bahwa ada input untuk Raster dan Weight atau bobotnya.

Sebagai permulaan pilih salah satu raster, lalu klik Load, raster akan muncul di bawah dan ketikan nilai Weight atau bobot yang sesuai untuk layer tersebut. Setelah itu ulangi untuk raster/layer lainnya, sampai bobot jumlahnya 1, karena jika tidak 1 maka tools akan memberikan notifikasi.



Setelah semua layer dimasukan dan diberi bobot, selanjutnya klik Next dan pada Grade di setiap layer masukan nilai yang sama dengan Original Valuenya, jika 0 maka sebaiknya kosongkan dan centang Not Calculated nya. Pada bagian bawah yaitu Select Output, klik titik tiga lalu tentukan lokasi dan nama raster outputnya, misal KerawananLongsor.tif.

#6 Setelah itu jalankan dengan klik Evaluate, maka progress bar akan muncul dan tunggu sampai Complete atau menunjukan 100%.

#7 Raster hasil akan muncul pada panel Layer, biasanya secara default akan disymblogykan sebagai Singleband Grey. Pada contoh ini nilai piksel minimum adalah 2,7 dan maksimum 3,95, dan jika symbologynya dirubah menjadi 3 kelas dengan equal interval maka hasilnya seperti gambar berikut. Di mana interval kelasnya jika dianalogikan misalnya 2,7 – 3,12 (Rendah), 3,12 – 3,53 (Sedang), dan 3,53 – 3,9 (Tinggi).

Hasil WMCA

#8 Jika berniat untuk dijadikan shapefile, maka sebaiknya lakukan Reclass by table pada raster hasil dengan interval yang anda inginkan. Setelah itu raster hasil reclass dikonversi menjadi shp dengan perintah Polygonize (raster to vector).

Baca juga : Graphical Modeler Si Model Builder Ala QGIS

Setting Reclass by table
Weighted Overlay QGIS Dengan Raster Calculator

Selain menggunakan plugin, analisis overlay terbobot pada QGIS bisa juga dilakukan menggunakan Raster Calculator tentunya tahapan awalnya tetap yaitu konversi shp/vektor menjadi raster, baru setelah itu dimasukan ke Raster Calculator.

Rumusnya Weighted Overlay = ∑ bobot x skor atau jika diterjemahkan dalam raster calculator menjadi (0.3*”CurahHujan@1″)+(0.15*”Lereng@1″)+(0.2*”JenisTanah@1″)+(0.2*”Geologi@1″)+(0.15*”LandCover@1″). Sedangkan untuk proses lanjutannya sama dengan di atas.

Referensi



About Lintas Bumi 129 Articles
Lintas Bumi adalah blog berbagi info, trik, dan data seputar dunia informasi geospasial baik nasional ataupun global.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*