Google Earth Engine Si Pendobrak Remote Sensing Tradisional

Pertanda Remote Sensing Tradisional Akan Lenyap Ternyata Sudah Muncul Sejak 10 Tahun Lalu : GEE

Kalau semua data citra sudah disediain gratis dan bisa diolah secara online, terus apa gunanya nginstall software remote sensing, dan apakah software remote sensing desktop akan bertahan? Alangkah ruginya kalau kita tidak bisa memanfaatkan layanan cloud citra gratis ini! Itu kira-kira kesan Lintasbumi sesudah mengoprek Google Earth Engine.

Flashback sedikit, di mana lahirnya citra satelit dan teknologi remote sensing merupakan satu lompatan besar dalam cara mengcapture data permukaan bumi. Permukaan bumi jadi bisa digambarkan dan dipetakan secara cepat dan luas. Teknologi selalu berkembang mengikuti kebutuhan zaman, saat ini semua serba online, dan remote sensing pun menuju ke arah sana.

Sedikit cerita pengalaman pribadi, mengolah data remote sensing itu butuh kesabaran dan ketekunan yang lebih dibanding mengolah data vektor. Butuh lebih dari sekedar kemampuan pemetaan mempraktekan remote sensing, perlu didukung penguasaan matematika dan statistik yang baik. Makanya Lintasbumi bisa dikatakan kurang mendalami remote sensing, karena mau gampangnya saja, soalnya teknik-teknik remote sensing terasa lebih rumit. Namun bagi yang suka tantangan justru kerumitan itulah seninya. Lintasbumi lebih menikmati sebagai user dan penikmat hasil remote sensing.

Saat ini jika melihat hasil karya dari para ‘jagoan’ remote sensing, terlihat sudah sangat advance dibanding 15 – 20 tahun lalu. Selain karena data citra yang kini lebih beragam dan mudah didapat (download), kemampuan software remote sensing pun sudah bepuluh-puluh langkah di depan dibanding 15 – 20 tahun yang laluItu suatu kewajaran mengingat juga secara keilmuan pastinya metode-metode remote sensing berkembang mengikuti kebutuhan yang ada di eranya.

Membaca beberapa jurnal, blog dan forum-forum SIG-Inderaja entah itu di medsos, jurnal ilmiah, berita, dan sebagainya, remote sensing versi terkini sudah advance banget. Advance di sini menurut Lintasbumi yaitu sudah serba canggih, lebih ‘njlimet’ dalam analisis statistiknya, online dan berbau-bau programming. Lintasbumi rasanya sudah tertinggal jauh karena yang dikuasai masih metode klasik seperti koreksi geometris, radiometris, filtering, band ratio, composite, dan klasifikasi. Sementara saat ini sudah muncul istilah-istilah baru teknik remote sensing yang asing di telinga. Misalnya ada Machine Learning, Deep Learning, Spectral–Temporal Analysis by Response Surface (STARS), LIDAR/LAS, dan lainnya.



Beberapa dekade ke belakang, peta digital bisa dikatakan masih barang eksklusif, hanya milik, dibaca, atau digunakan oleh kalangan tertentu. Bahkan untuk membukanya pun harus memakai software SIG (atau CAD). Kemudian lahir internet dan mulailah terfikir peta berbasis internet dan munculah web-GIS. Web-GIS telah membawa peta di ujung jari kita dengan lahirnya Google Map, Openstreet Map, Bing Map, dan lain-lain. Kini peta sudah menjadi milik semua orang (common goods), bisa diakses oleh siapa saja, kapan saja, dan telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Pun citra satelit, dulu untuk mendapatkan data citra itu ekslusif, mahal (berbayar), dan sulit pula (birokratis). Software remote sensing pun demikian, masih sedikit dan mahal semacam Er Mapper, ENVI, PCI Geomatica. Dalam perjalanannya lahir internet, mulailah data Landsat digratiskan lewat internet (bisa diunduh bebas), menyusul kemudian yang lainnya seperti SRTM, Sentinel, dan sebagainya. Muncul lagi CSRT (Citra Satelit Resolusi Tinggi) seperti Ikonos (kini sudah pensiun sejak 2015, Geoeye, World View, SPOT, dan sejenisnya. Semua perkembangan data citra itu merubah pola pengolahan data citra di remote sensing, CSRT misalnya menjadikan teknis klasifikasi citra menjadi ‘abu-abu’ antara dibutuhkan lagi atau tidak, karena semua obyek kelihatan dengan jelas / detail. Namun di sisi lain CSRT juga telah menambah perbendaharaan metode remote sensing, misal lahirnya analisis obyek menggunakan Machine Learning dan Artificial Intelligence (AI) lewat Deep Learning untuk mengekstraksi poligon bangunan secara lebih cepat.

 

Remote Sensing Tradisional VS Online : Google Earth

Pun dari sisi software, dulu tahunya hanya ERDAS, ENVI, ERMapper. Namun saat ini berlimpah ruah dan banyak juga yang gratis dari Internet yang menawarkan fitur-fitur yang canggih tadi, macam GRASS, SNAP, dan lainnya. Bahkan yang menarik kini sudah ada yang bersifat cloud, yaitu online + programming yang namanya Google Earth Engine atau singkat saja GEE.

Dengan aplikasi GE ini semua citra (Landsat dan beberapa CSRT lainnya) disimpan di server Google dan tersaji online, bisa dilihat time series secara cepat, kapan saja. Kelebihan GE lainnya adalah bisa dioverlay dengan data spasial pengguna dalam format KML atau KMZ, serta dengan titik lokasi pengguna (lokasi smartphone) sehingga pengguna terbantu. GE pertama-pertama terasa seperti sebuah ‘mainan’, sebuah globe biasa rasa dijital, namun dalam perkembangannya Google terus melengkapi data di dalamnya dan malah mensharing kode petanya yang bisa digunakan di berbagai aplikasi (API). Boominglah aplikasi di internet (dan Android terutamanya) yang berbasis atau menggunakan peta tersebut, pada akhirnya menjadi informasi penting dan dibutuhkan sehari-hari seperti untuk layanan belanja, kurir barang, dan lain-lain. Di sisi lain GE pun sangat membantu para ilmuwan dan pakar dalam pemantauan dan riset kerusakan lingkungan. Fungsionalitas dan kemudahan GE merupakan sesuatu yang tidak mampu dilakukan oleh software remote sensing ‘tradisional’.

Google Earth dengan time slider
Google Earth Engine, Era Big Data Remote Sensing Sudah Dimulai!

Satu dekade terakhir ini di dunia internet dan pengolahan data ngetren pula cloud computing atau komputasi awan, di mana semua data disimpan, diolah/dikerjakan, dan disajikan secara online. Tuntutan ke remote sensing pun menjadi lebih tinggi lagi menjadi cloud remote sensing. Google sudah membaca situasi ini, dan banyak kalangan tidak hanya sekedar ingin melihat citra di GE namun lebih dari itu ingin ‘mengoprek’ nya. Mereka ingin mengimplementasikan apa yang biasa dilakukan di software remote sensing ‘tradisional’ secara online.

Saat ini era Big Data, yang tidak hanya berarti data yang berukuran besar (ukuran data-data citra satelit memang masuk tipe ini), lebih dari itu Big Data adalah bagaimana memanfaatkan, mensinkronkan, dan menganalisis berbagai jenis data secara online dan antar operasi untuk membantu pengambilan keputusan yang strategis secara cepat dan tepat. Kelahiran Big Data di remote sensing pun tinggal menunggu saja, dan akhirnya saat itu tiba dengan adanya Google Earth Engine (GEE), Google sebagai raksasa internet dunia telah mewujudkan era cloud dan big data remote sensing.

Dari sisi waktu ternyata si GEE ini bukanlah sesuatu yang baru-baru banget, hal itu bisa dilihat dari berita di situs kompas.com edisi tahun 2011. Artinya sudah sejak 10 tahun lalu inisiatif GEE tersebut lahir dan diimplementasikan. Namun sepertinya di Indonesia si GEE ini baru ngetren 2 atau 3 tahunan belakang ini, karena yang jelas di berbagai medsos yang lintasbumi ikuti baru sekarang-sekarang ini banyak publikasi, tawaran-tawaran pelatihan baik basic ataupun middle – advance, ataupun share blog dan video untuk implementasi GEE.

Berita tentang Google Earth Engine tahun 2011

Menurut Google, si Google Earth Engine ini adalah sebuah media penyedia citra satelit, media penyimpanan citra satelit (arsip data citra) bersifat publik yang mencakup citra bumi secara historis (time series) yang berusia lebih dari empat puluh tahun (sejak tahun 1970 an), sekalian dengan alat dan kekuatan komputasi di dalamnya yang diperlukan untuk menganalisis dan menambang data yang besar tersebut (spatial data mining). Jenis data citranya banyak betul, tidak hanya Landsat atau Sentinel saja, tapi ada puluhan atau bahkan ratusan jenis, seperti bisa dilihat di https://developers.google.com/earth-engine/datasets/catalog.

Hebatnya lagi GEE bisa diakses gratis oleh siapa saja. Jika dulu data-data itu hanya bisa dilihat saja lewat Google Earth, nah dengan GEE maka kini siapa saja bisa mengopreknya karena secara online. Siapa saja di sini yaitu yang mau bersusah payah menguasai pemrograman python atau javascript, baek banget yah si Google ini. Siapapun yang tertarik dengan GEE maka harus melengkapi diri dengan kemampuan remote sensing, plus penguasaan teknik data mining (coding ataupun programming).

Apa gunanya si GEE ini buat pengguna biasa?

Seperti bisa dibaca sekilas di screenshot berita di atas, sebetulnya GEE diprioritaskan untuk ilmuwan atau peneliti kebumian yang memang keinginan tahuannya tinggi atau sedang meneliti permasalahan kebumian, atau para aktifis lingkungan atau kaum peduli lingkungan yang kerjaannya nyari-nyari di mana ada kerusakan lingkungan yang bisa dijadiin basis data untuk mengadvokasi isu tersebut ke publik, atau mahasiswa yang tertarik melakukan penelitian menggunakan data citra satelit. Namun tentunya GEE ini ya buat siapa saja yang memang memerlukan informasi yang sumbernya dari citra satelit, mau itu untuk tujuan yang serius, hobby, atau sekedar ingin tahu saja seperti lintasbumi.



GEE ini pastinya memudahkan banget, karena pengguna dengan mudah bisa mengimplementasikan teknik-teknik remote sensing secara online dengan data citra yang begitu banyak, yang pastinya akan lama jika dilakukan oleh software semacam Er Mapper, ENVI, PCI Geomatica, dan lain-lain. Artinya bekerja menjadi lebih efisien dari sisi waktu dan sumber daya. Kelemahannya adalah pengguna terutama yang awam perlu waktu untuk mempelajari bagaimana coding nya serta bergantung kualitas koneksi internet.

Apa-apa saja yang bisa ‘ditambang’ di GEE silahkan teman-teman bisa googling, karena lintasbumi lihat tutorialnya pun di Youtube sudah banyak.

Implikasi Terhadap Software Remote Sensing Tradisional

GEE ini menurut pandangan lintasbumi lebih kepada pengayaan pemanfaatan data. Bagaimanapun canggihnya GEE, aplikasi atau program desktop untuk remote sensing tetap dibutuhkan, paling tidak untuk beberapa tahun ke depan. Ini dikarenakan aplikasi berbasis GUI yang friendly seperti tinggal mengklak-klik menu yang ada di software desktop masih lebih diminati ketimbang bersusah payah membuat coding pemrograman. Di samping itu tidak selalu pengguna inderaja bekerja secara online, serta ketergantungan koneksi internet ataupun koneksi internet yang rendah berpotensi mengganggu kinerja online.

Di samping itu software inderaja versi desktop pun bisa jadi ke depan atau bahkan sudah, akan melengkapi dirinya dengan fungsi-fungsi programming GEE ini dan platform komputasi awan lainnya. Sehingga untuk bisa mengolah GEE dan yang sejenis bisa juga dengan software tersebut tanpa harus melalui browser. Seperti yang sudah dilakukan QGIS, di mana kini sudah tersedia plugin GEE di dalamnya yang berbasis Python. Intinya antara aplikasi inderaja cloud dan desktop akan saling melengkapi.

Plugin GEE dalam QGIS 3.18

 

Hasil Test GEE di QGIS
Test GEE Plugin di QGIS

Kebayang nggak ya, sebesar apa hardisk di GEE ini?! Lha wong lintasbumi menyimpan unduhan landsat cuma ‘beberapa’ biji aja sudah bisa makan hardisk 2 Giga Byte sendiri. Ini koleksi citra seluruh dunia dari 40 tahun yang lalu sampai yang terbaru, landsat + sentinel (dan mungkin yang lain) pula, ukurannya pun sudah Petabyte. Jadi manfaat selanjutnya dari si GEE ini adalah bisa mengurangi beban hardisk dan laptop si penggunanya. Harus diakui ukuran data besar dari citra satelit masih menjadi kendala dalam remote sensing tradisional. Welcome era big data!

Seperti di bawah ini nih contoh hasil running GEE. Membuat video animasi (time elapse) Citra Landsat dari Suaka Margasatwa Cikepuh (Kabupaten Sukabumi) dan sekitarnya, dari tahun 1984 sampai 2021 dalam natural color composite, yaitu dari sejak Landsat 5, 7 ETM+, sampai 8. Bisa dibayangkan lah kalau itu dibuat secara manual, ada 251 data citra yang harus dikumpulkan dan diseleksi, berapa giga byte hardisk yang dibutuhkan, dan berapa lama kuota data yang dibutuhkan untuk download citranya?, belum lagi processing data yang dibutuhkan dari mulai software remote sensing dan video editornya, hanya untuk membuat video berdurasi 24 detik saja.

Lintasbumi sendiri mengoprek dan mengadaptasi coding GEE ini dari situs http://www.acgeospatial.co.uk/time-series-on-landsat-data-gee/ (Thanks). Selamat ber GEE !



About Lintas Bumi 129 Articles
Lintas Bumi adalah blog berbagi info, trik, dan data seputar dunia informasi geospasial baik nasional ataupun global.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.


*